KOTA SALATIGA
Kota Salatiga (bahasa
Jawa: Hanacaraka
ꦑꦸꦛꦯꦭꦠꦶꦒ), adalah
sebuah kota di Provinsi Jawa
Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km
sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota
Surakarta, dan berada di jalan negara yang menghubungkan
Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni
Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Kota ini berada di lereng timur Gunung
Merbabu, sehingga membuat kota ini berudara cukup sejuk. Mulai tahun 2014
direncanakan pemekaran wilayah di dalam kota Salatiga segera terwujud, yaitu
membagi kelurahan Kutowinangun menjadi 2 wilayah sehingga menjadi kelurahan
Kutowinangun Lor (utara) dan Kelurahan Kutowinangun Kidul (selatan) mengingat
wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang padat serta permintaan dari warga
sebagai latar belakang pemekaran wilayah dan sudah diajukan kepada pemerintah
negara Republik Indonesia [2].
Dari letak administratif yang ada menjadikan kota Salatiga menduduki peringkat luas wilayah ke-18
kotamadya terkecil di Indonesia.
Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar
untuk mengungkap asal usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti maupun
penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari beberapa sumber tersebut Prasasti
Plumpungan-lah yang dijadikan
dasar asal usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga
dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota
Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.Prasasti Plumpungan
Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
Berdasar prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu itu Salatiga merupakan perdikan.Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini. Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti
Plumpungan ditulis dalam Bahasa
Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak
persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap
sudutnya.
Dengan
demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan
langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada
raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti
Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga
Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24
Juli tahun 750 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar